Selasa, 15 Desember 2009

Karbon Dioksida, Misteri Sebuah Senyawa

Karbon Dioksida, Misteri Sebuah Senyawa

Fakta tentang karbon dioksida

Karbon dioksida atau CO2, semua orang mengenal senyawa ini sebagai gas, tak berbau, tak berwarna, tak beracun dan berasal dari setiap mekanisme pembakaran maupun metabolisme.

Gas Karbon dioksida pertama kali diamati keberadaannya oleh Van Helmont, tahun 1577. Secara statistik alamiah, gas ini tidak melimpah di muka bumi dan konstan persentasenya.

Pemanfaatan gas CO2 salah satunya adalah dapat diubah fasenya menjadi padat dan disebut “dry ice“, digunakan dalam industri pengawetan hingga industri film maupun sinetron (memberi efek kabut di film serem atau sinetron misteri).

Cerita dibalik si misterius CO2

Sejak dimulainya revolusi industri di Inggris hingga revolusi telekomunikasi jaman sekarang telah terjadi peningkatan persentase CO2 di muka bumi akibat aktivitas produksi dan konsumsi.

Mulailah dikenal istilah “Green House Effect“, yaitu meningkatnya kadar CO2 di atmosfer menjadikan bumi tambah panas, memberikan efek “Global Warming” dan selanjutnya “Global Climate Change“.

Lha, apa hubungan CO2 dengan panas ?,

Begini, Karena kebetulan sifat CO2 yang menyerap energi panas dari radiasi sinar infra merah yang dipancarkan matahari, akibatnya makin terakumulasilah energi panas tersebut dimuka bumi bahkan bisa mencairkan es kutub lho! Ditambah lagi penggunaan senyawa CFC (Chloro Fluoro Carbon) sebagai pelarut, material gas pendingin dalam refrigerator dan foaming agent dalam industri polimer ternyata malah “memakan” ozone yang melindungi bumi dari radiasi sinar ultra violet matahari yang berenergi tinggi.

Ironisnya fakta lain tentang CFC menjadikan orang tetap menggunakan CFC, yaitu dia ternyata gas yang tidak terlalu berbahaya terhadap mahluk hidup, tidak mudah terbakar, dan punya sifat-sifat unik karena variasi kandungan atom klor dan fluornya.

Tapi bumi sudah panas ditambah lagi bumi semakin terbuka terhadap pancaran energi tinggi UV yang mematikan, menjadikan kalangan terutama para ilmuwan kalang kabut mencari solusi agar bumi ini tetap menjadi tempat yang nyaman dihuni paling tidak sampai menjelang kiamat.

Apa to kebaikan CO2 itu?

Akhir-akhir ini mulai luas dikenal istilah “Green Chemistry” atau lebih menarik lagi “Green, Benign and Sustainable Chemistry“.

Istilah itu sebenarnya adalah gerakan pembaharuan dalam dunia riset dipelopori oleh para ilmuwan setengah gila yang melawan arus aliran trend riset, karena pada awalnya riset lebih banyak berkutat pada eksploitasi sumber daya bumi daripada menyelamatkannya.

Seiring dengan semakin ditekannya penggunaan material CFC sebagai pelarut, maka dicarilah alternatif pengganti yang memiliki sifat-sifat serupa tapi lebih ramah terhadap lingkungan.

Manfaat lain dari CO2 yaitu sebagai pelarut superkritis. CO2 sebagai fluida superkritis sebenarnya adalah gas yang dinaikkan temperaturnya mencapai temperatur kritis (temperatur tertinggi yang dapat mengubah fase gas menjadi fase cair dengan cara menaikkan tekanan), dan memiliki tekanan kritis (tekanan tertinggi yang dapat mengubah fase cair menjadi fase gas dengan cara menaikkan temperatur) sehingga sifat-sifatnya berada di antara sifat gas dan cairan.

Sebagai pelarut superkritis, CO2, telah cukup banyak dimanfaatkan dibidang penelitian dan industri. Keuntungan lain adalah tidak perlu membuat CO2 melainkan cukup menyaringnya dari udara sekitar. Walaupun teknologinya masih mahal, bukan berarti tidak bisa dimanfaatkan secara nyata.

Dibidang isolasi dan pengolahan bahan alam, CO2 superkritis dimanfaatkan sebagai pelarut dalam proses ekstraksi maupun de-ekstraksi senyawa-senyawa aktif dari tumbuhan untuk pengobatan, atau senyawa-senyawa penting untuk industri makanan, misalnya ekstraksi minyak atsiri lemon, jahe, beta-carotene dari tumbuh-tumbuhan atau de-ekstraksi caffein pada kopi.

Namun pengembangan lebih lanjut rupanya masih terhambat oleh miskinnya pengetahuan tentang sifat-sifat maupun fasa-fasa campuran CO2 superkritis dengan bahan terlarut dan perilaku senyawa terlarut di dalamnya.

Dibidang pertambangan minyak bumi, bahkan penggunaan CO2 yang dicairkan sangat besar. Fluida ini dialirkan ke dalam sumber-sumber minyak yang mulai menipis cadangannya untuk mengangkat cadangan minyak tersisa.

Masalah utamanya adalah fluida ini kekentalannya rendah sehingga tidak mampu mengangkat minyak secara maksimum. Pengembangan aditif yang mampu meningkatkan kekentalan (viscosity) fluida CO2 belum mampu bekerja optimum karena kelarutan aditif-aditif tersebut yang sulit diperkirakan.

Suatu perkembangan lebih menggembirakan dalam industri polimer kembali mengangkat kepopuleran CO2. Dupont, sebuah perusahan terkemuka dalam inovasi industri kimia telah mampu memproduksi semacam busa atau dikenal ‘foamed thermoplastic’ yang populer disebut ‘fluoropolimer’ berkat ditemukannya polimer ‘perfluoroalkil akrilat’ oleh Desimone dan rekan tahun 1992.

Fluoropolimer ini benar-benar larut dalam CO2 setelah sebelumnya digunakan pelarut dan surfaktan berbasis fluor. Permasalahannya adalah pengembangan ‘foamed polymer’ yang benar-benar menggunakan CO2 sebagai agen pembuih tidak terlalu berhasil.

Walaupun Dow, suatu perusahaan terkemuka juga dibidang industri polimer, telah memproduksi polistiren berbasis keseluruhan CO2 sebagai agen pengembang, namun muncul kesulitan teknis lain dalam polimer berbasis keseluruhan CO2, misalnya pecahnya gelembung akibat cepatnya difusi CO2 di dalam larutan polimer atau soal bagaimana membuat polimer yang memiliki daya hantar panas rendah.

Sesungguhnya masih banyak kegunaan yang bisa digali dari gas CO2 sebagai material ramah lingkungan. Misalnya dalam industri pelapisan material menggunakan polimer yang dapat larut dalam CO atau pembuatan partikel koloid dalam industri farmasi menggunakan pelarut CO2. Kenyataan bahwa gas CO, O2 dan H2 benar-benar dapat bercampur dan larut dalam CO2 sebenarnya memberikan kemungkinan untuk melakukan reaksi karbonilasi, oksidasi maupun hidrogenasi dalam pelarut CO2.

Namun kendala dalam aplikasi teknologi-teknologi tersebut secara massal membuat kaum industriawan masih enggan untuk benar-benar beralih menggunakan CO2.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar